BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Positivisme
Positivisme
berasal dari kata positif. Kata positif disini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. [1]
secara istilah, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta
yang positif positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. [2]
Positivisme
diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utama
Auguste Comte adalah Cours de philosophic positive, yaitu kursus tentang
filsafat positif (1830-1842) yang dirbitkan dalam enam jilid. Selain itu dia
juga mempunyai sebuah karya yaitu Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya
pembicaraan tentang jiwa positif.[3]
Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian
ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.
Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itulah,
positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “Hakekat”
benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah
mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan hanya menyelidiki fakta-fakta dan
hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah
mengoordinasikan ilmu-ilmu yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud
positivisme berkaitan erat dengan yang dicita-citakan oleh empirisme.
Positivisme pun mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan empirisme
inggris yang menerima pengalamam batiniah, dan subjektif sebagai sumber
pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman batiniah tersebut. Ia
hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka.[4]
B. Tokoh-tokoh Positivisme
1. Auguste Comte
Bernama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte[5],
lahir di Montepellier, perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama katolik yang
berdarah bangsawan. Meski demikian, Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan
kebangsawanannya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di paris dan
lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa
yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan ecole sesudah seorang
mahasiswa yang memberontak dalam mendukung napoleon dipecat.
Auguste
Comte memulai karir profesionalnya degan memberi les dalam bidang matematika.
Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial.
Tahun
1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang
berjudul course of positive Philosophy, comte bertemu dengan clothilde de Vaux,
seorang ibu yang mengubah kehidupan comte. Dia berumur beberapa tahun lebih
muda dari pada comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika
bertemu dengan komte pertama kalinya, comte langsung mengetahui bahwa peremuan
itu bukan sekedar perempuan. Seyangnya clothilde de Vaux tidak terlalu
meluap-luap seperti comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali,
clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya,
dalam suratnya, clothilde de Vaux menerima menjalin hubungan intim suami
isteri. Wanita itu terdesak oleh keprihatinan akan kesehatan mental comte.
Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan
mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak
berlangsung lama. clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa
bulan sesudah bertemu dengan comte, dia meninggal. Kehidupan comte lalu
bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya”
itu.
Auguste
Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran comte
sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan
sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah
satu masyarakat”, melainkan I’humanite “suku bangsa manusia” pada umumnya.
Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”. (juhaya S. Pradja, 2000 : 91).
Keteraturan
masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang
dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan
dengan altruisme ini, comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti
Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk”.
Dalam hal ini comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk
If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi,
dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik
tanpa agama masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai
prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan.[6]
Perlu
diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebut diatas menurut Comte tidak
hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga
berlaku bagi peroranga. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog, sebagai
pemuda menjadi metafisis dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang positivis.[7]
2. John Stuart Mill
John
Stuart Mill memberikan landasan psikoogis terhadap filsafat positivisme. Karena
psikollogi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan
kaum positif, mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan
ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya
dalam ilmu pengetahuan.
C. Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia
Titik
tolak ajaran comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan
pengetahuan manusia, baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan.
Menurutnya, perkembangan menurut tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap.
Ketiga zaman itu adalah zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau
positif.
1. Zaman Teologis
Pada
zaman teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak
seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang
lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk insani biasa. Zaman teologis dapat
dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu :
a. Animisme : Tahap animesme merupakan tahap paling primitif,
karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa.
b. Politisme : Tahap politisme merupakan perkembangan dari tahap
pertama. Pada hari ini, menusia percaya pada dewa yang masing-masing menguasai
suatu lapangan tertentu ; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan
sebagainya
c. Monoteisme : tahap monoteisme ini lebih tinggi dari pada dua
tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, menusia hanya memandang satu tuhan
sebagai penguasa.
2. Zaman Metafisis
Pada
zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati dengan konsep dan prinsip yang abstrak,
seperti “kodrat” dan “penyadap”. Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
3. Zaman Positif
Zaman
ini dianggap comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya
ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya.
Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha
menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara
fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti
yang sebenarnya.
Hukum
tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai anak manusia berada pada
zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk zaman metafisis dan pada masa
dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang
mengikuti tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada
zaman positif.
[1] Atang Abdul Hakim dan Beni
Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 296
[2] Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182
[3]
Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009),
[4] F um
[5] Yunia nur ayni, Bapak
Sosiologi Auguste Comte diakses dari
http://yunianurayni.wordpress.com/2011/01/21/teori-sosiologi-klasik/. diakses
tanggal 17-03-2012 Pukul 14.44
[6] Atang Abdul Hakim dan Beni
Ahmad Saibani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 317
[7] Waris, Filsafat Umum (Ponorogo:
Stain Po Press, 2009), 55
thanks artikel yang sangat membantu izin copy ya
BalasHapus